Senin, 03 Desember 2012

Sendal Jepit Istri Ku


Selera makanku mendadak
punah. Hanya ada rasa kesal
dan jengkel yang memenuhi
kepala ini. Duh … betapa tidak
gemas, dalam keadaan lapar
memuncak seperti ini
makanan yang tersedia tak
ada yang memuaskan lidah.
Sayur sop ini rasanya manis
bak kolak pisang, sedang
perkedelnya asin nggak
ketulungan. “Ummi… Ummi,
kapan kau dapat memasak
dengan benar …? Selalu saja,
kalau tak keasinan…
kemanisan, kalau tak
keaseman … ya kepedesan!”
Ya, aku tak bisa menahan
emosi untuk tak
menggerutu. ”Sabar bi…,
Rasulullah juga sabar terhadap
masakan Aisyah dan Khodijah.
Katanya mau kayak Rasul …?
” ucap isteriku kalem.
“Iya… tapi abi kan manusia
biasa. Abi belum bisa sabar
seperti Rasul. Abi tak tahan
kalau makan terus menerus
seperti ini …!” Jawabku
dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang
bernada emosi, kulihat isteriku
menundukkan kepala dalam-
dalam. Kalau sudah begitu, aku
yakin pasti air matanya sudah
merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar
kota. Dan tentu, ketika pulang
benak ini penuh dengan
jumput-jumput harapan untuk
menemukan ‘baiti jannati’
di rumahku. Namun apa yang
terjadi …? Ternyata
kenyataan tak sesuai dengan
apa yang kuimpikan.
Sesampainya di rumah,
kepalaku malah mumet tujuh
keliling. Bayangkan saja,
rumah kontrakanku tak
ubahnya laksana kapal burak
(pecah). Pakaian bersih yang
belum disetrika menggunung
di sana sini. Piring-piring kotor
berpesta pora di dapur, dan
cucian … ouw… berember-
ember. Ditambah lagi aroma
bau busuknya yang
menyengat, karena berhari-
hari direndam dengan
detergen tapi tak juga dicuci.
Melihat keadaan seperti ini
aku cuma bisa beristigfar
sambil mengurut dada.
“ Ummi…ummi, bagaimana
abi tak selalu kesal kalau
keadaan terus menerus
begini …?” ucapku sambil
menggeleng-gelengkan
kepala. “Ummi… isteri
sholihat itu tak hanya pandai
ngisi pengajian, tapi dia juga
harus pandai dalam mengatur
tetek bengek urusan rumah
tangga. Harus bisa masak,
nyetrika, nyuci, jahit baju,
beresin rumah…?” Belum
sempat kata-kataku habis
sudah terdengar ledakan
tangis isteriku yang kelihatan
begitu pilu. “Ah…wanita
gampang sekali untuk
menangis …,” batinku
berkata dalam hati. “Sudah
diam Mi, tak boleh cengeng.
Katanya mau jadi isteri
shalihat …? Isteri shalihat itu
tidak cengeng,” bujukku hati-
hati setelah melihat air
matanya menganak sungai
dipipinya. “Gimana nggak
nangis! Baru juga pulang sudah
ngomel-ngomel terus. Rumah
ini berantakan karena
memang ummi tak bisa
mengerjakan apa-apa.
Jangankan untuk kerja untuk
jalan saja susah. Ummi kan
muntah-muntah terus, ini
badan rasanya tak bertenaga
sama sekali, ” ucap isteriku
diselingi isak tangis. “Abi
nggak ngerasain sih
bagaimana maboknya orang
yang hamil muda …” Ucap
isteriku lagi, sementara air
matanya kulihat tetap
merebak.
***
Bi …, siang nanti antar Ummi
ngaji ya…?” pinta isteriku.
“Aduh, Mi… abi kan sibuk
sekali hari ini. Berangkat
sendiri saja ya ?” ucapku.
“Ya sudah, kalau abi sibuk,
Ummi naik bis umum saja,
mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan, ” jawab
isteriku. “Lho, kok bilang
gitu…?” selaku. “Iya, dalam
kondisi muntah-muntah
seperti ini kepala Ummi
gampang pusing kalau
mencium bau bensin. Apalagi
ditambah berdesak-desakan
dalam bus dengan suasana
panas menyengat. Tapi
mudah-mudahan sih nggak
kenapa-kenapa, ” ucap
isteriku lagi. “Ya sudah, kalau
begitu naik bajaj saja,”
jawabku ringan. Pertemuan
hari ini ternyata diundur pekan
depan. Kesempatan waktu
luang ini kugunakan untuk
menjemput isteriku. Entah
kenapa hati ini tiba-tiba saja
menjadi rindu padanya.
Motorku sudah sampai di
tempat isteriku mengaji. Di
depan pintu kulihat masih
banyak sepatu berjajar, ini
pertanda acara belum selesai.
Kuperhatikan sepatu yang
berjumlah delapan pasang itu
satu persatu. Ah, semuanya
indah-indah dan kelihatan
harganya begitu mahal.
“ Wanita, memang suka yang
indah-indah, sampai bentuk
sepatu pun lucu-lucu, ” aku
membathin sendiri. Mataku
tiba-tiba terantuk pandang
pada sebuah sendal jepit yang
diapit sepasang sepatu indah.
Dug! Hati ini menjadi luruh.
“ Oh….bukankah ini sandal
jepit isteriku?” tanya hatiku.
Lalu segera kuambil sandal
jepit kumal yang tertindih
sepatu indah itu. Tes! Air
mataku jatuh tanpa terasa.
Perih nian rasanya hati ini,
kenapa baru sekarang sadar
bahwa aku tak pernah
memperhatikan isteriku.
Sampai-sampai kemana ia
pergi harus bersandal jepit
kumal. Sementara teman-
temannnya bersepatu bagus.
“Maafkan aku Maryam,”
pinta hatiku. “Krek…,”
suara pintu terdengar dibuka.
Aku terlonjak, lantas
menyelinap ke tembok
samping. Kulihat dua ukhti
berjalan melintas sambil
menggendong bocah mungil
yang berjilbab indah dan
cerah, secerah warna baju dan
jilbab umminya. Beberapa
menit setelah kepergian dua
ukhti itu, kembali melintas
ukhti-ukhti yang lain. Namun,
belum juga kutemukan
Maryamku. Aku menghitung
sudah delapan orang keluar
dari rumah itu, tapi isteriku
belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika
sesosok tubuh berbaya gelap
dan berjilbab hitam melintas.
“ Ini dia mujahidahku!” pekik
hatiku. Ia beda dengan yang
lain, ia begitu bersahaja. Kalau
yang lain memakai baju
berbunga cerah indah, ia
hanya memakai baju warna
gelap yang sudah lusuh pula
warnanya. Diam-diam hatiku
kembali dirayapi perasaan
berdosa karena selama ini
kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa
semenjak menikah belum
pernah membelikan sepotong
baju pun untuknya. Aku terlalu
sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan
isteriku, padahal di balik
semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai
Maryamku.
Aku benar-benar menjadi malu
pada Allah dan Rasul-Nya.
Selama ini aku terlalu sibuk
mengurus orang lain, sedang
isteriku tak pernah kuurusi.
Padahal Rasul telah berkata:
“ Yang terbaik di antara kamu
adalah yang paling baik
terhadap keluarganya. ”
Sedang aku..? Ah, kenapa pula
aku lupa bahwa Allah
menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan
baik. Sedang aku …? terlalu
sering ngomel dan menuntut
isteri dengan sesuatu yang ia
tak dapat melakukannya. Aku
benar-benar merasa menjadi
suami terdzalim!!!
“ Maryam…!” panggilku,
ketika tubuh berbaya gelap itu
melintas. Tubuh itu lantas
berbalik ke arahku, pandangan
matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas
kehadiranku di tempat ini.
Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya
mengembangkan senyum.
Senyum bahagia. “Abi…!”
bisiknya pelan dan girang.
Sungguh, aku baru melihat
isteriku segirang ini. “Ah,
kenapa tidak dari dulu
kulakukan menjemput
isteri ?” sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli
sepasang sepatu untuk
isteriku. Ketika tahu hal itu,
senyum bahagia kembali
mengembang dari bibirnya.
“Alhamdulillah,
jazakallahu…,”ucapnya
dengan suara tulus. Ah,
Maryam, lagi-lagi hatiku
terenyuh melihat polahmu.
Lagi-lagi sesal menyerbu
hatiku. Kenapa baru sekarang
aku bisa bersyukur
memperoleh isteri zuhud dan
‘ iffah sepertimu? Kenapa
baru sekarang pula kutahu
betapa nikmatnya
menyaksikan matamu yang
berbinar-binar karena
perhatianku …

0 komentar:

Posting Komentar